OLEH : M. GHAFUR HASBULLAH*
Diantara
akhlak yang terpuji ialah berbuat baik pada sesama, prakteknya seperti menebar
senyuman, tawadhu', tutur kata yang lembut, dan lain sebagainya. Berperilaku
baik merupakan sebuah kewajiban bagi insan.
Dengan
demikian, akan tercipta budaya saling tolong-menolong, gotong-royong, menaikkan
rasa simpati maupun empati, mengikis rasa curiga-mencurigai, dan tingginya
toleransi antar sesama. Betapa mirisnya bilamana seseorang sudah
mengesampingkan perilaku terpuji. Akankah hidup akan rukun ?
Dikarenakan
degradasi akhlak baik, maka datanglah Rasulullah Saw sebagai utusan
untuk mengikis budaya-budaya jahiliyah yang mengakar kuat pada masa itu.
Bobroknya perilaku penduduk Arab masa itu, maka Allah Swt mengutus Nabi Muhammad
Saw guna menyempurnakan akhlak kaumnya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya
aku di utus untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Baihaqi)
Pada
dasarnya setiap manusia cenderung pada perbuatan baik, mereka selalu menerima
siapapun yang berbuat baik padanya. Sebaliknya, siapapun yang memiliki perbuatan
buruk, pada akhirnya akan dijauhi dan disingkirkan. Dengan demikian, tidak bisa
di pungkiri, bahwa salah satu daya upaya menarik simpati seseorang, ialah
dengan menerapkan perilaku-perilaku terpuji, taruhlah budaya 3 S (Senyum, sapa,
salam) sebagaimana dilakukan penjaga SPBU, ramahnya pegawai toko modern semacam
indomart, alfamart, dan lainnya.
Kebiasan-kebiasan
melempar senyum ramah pada seseorang, berbicara dengan lemah lembut,
berpenampilan menawan dan rapi. Itu semua merupakan bentuk amaliah yang
terpuji, bahkan dinilai ibadah kalau pelakunya orang yang ikhlas dan
benar-benar menjiwai atas perilakunya, bukan sebatas pemanis muka belaka.
Dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan At-Tirmidzi Rasulullah SAW
bersabda betapa pentingnya sebuah senyum ketika berhadapan dengan orang lain.
عن أبي ذر قال قال لي النبي {صلى الله عليه وسلم} لا تحقرن من
المعروف شيئاً ولو أن تلقى أخاك بوجهٍ طليق رواه مسلم والترمذي
Artinya:
“Dari Abu Dzar RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW berkata kepadaku, ‘Kamu
jangan mengecilkan kebaikan sekecil apapun, meski kau hanya menampakkan diri
dengan wajah berseri di hadapan saudaramu,” (HR Muslim dan At-Tirmidzi)
Namun,
semua bentuk kebaikan yang kita lakukan haruslah ditopang dengan ilmu.
Pasalnya, terkadang praktek kebaikan bisa memberi dampak negatif, hal tersebut
bilamana terjadi pada seseorang yang lemah imannya (fasiq) ditegaskan
dalam al-Quran surat al-Ahzab.
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ
ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan
yang baik.” (QS, al-Ahzab : 32 )
Dalam
ayat tersebut dijelaskan bagaimana sikap istri-istri manakala berbicara dengan
orang-orang yang berperangai buruk, ialah dengan tidak berkata sopan pada
mereka, karena dikhawatirkan akan timbulnya hasrat buruk dari mereka.
Demikian
pula bagi wanita-wanita shalihah, bagi mereka tidak diperkenankan pula untuk
bersikap ramah berlebihan pada selain suaminya atau lain muhrimnya, yang
demikian demi menjaga niatan buruk ataupun disalah artikan atas kesopanannya.
Semua
Harus Ada Ilmunya, Diantara kaidah yang familiar tertulis ialah, "Akhlak
di atas ilmu". Kaidah tersebut tidak selamanya tepat. Mengapa demikian ?
Bagaimana bila jadinya jika yang berakhlak itu orang fasik ? Benar memang jika
akhlak di atas ilmu, tetapi akhlakpun harus didasari ilmu.
Dikatakan
oleh sebagian ulama, "Akhlak baik itu berlaku bagi orang baik
pula".
Ungkapan
ini bisa ditarik benang merah, bahwa perbuatan baiknya orang fasik belum tentu
baik. Senyumnya pencuri belum tentu bernilai ibadah, karena bisa jadi ramahnya
ia adalah strategi memalingkan perhatian. Bohongnya seseorang pada orang fasik
belum tentu buruk, bisa jadi bohongnya orang tersebut untuk menyelamatkan jiwa
tetangganya.
Perbuatan
baik yang tidak diikuti pemahaman ilmu akan menjadikan malapetaka bagi dirinya.
Karena pada dasarnya setiap kebaikan akan bernilai ibadah bilamana benar secara
ilmu agama, dikatakan dalam bait nadhom zubad;
“Setiap
ibadah harus ada ilmunya, bila tidak ada maka ibadahnya tiada di terima.”
Oleh
karenanya, belum bisa dikatakan baik kalau perbuatan baik itu hanya sebatas
pemanis belaka, misal senyum, sapa, dan salam pegawai SPBU apa akan berlanjut
tatkala dia berada di lokasi SPBU, ramahnya seorang pramugari apa seramah kala
sudah di tengah masyarakat.
Dengan
demikian, benar adanya jika Ibnu Athoillah memberikan nasehat pada kita semua,
bahwa manusia itu baiknya masih mungkin buruk, beliau mengatakan;
إلهي من كانت محاسنه مساوي فكيف
لا تكون مساويه مساوي ومن كانت حقائقه دعاوي فكيف لا تكون دعاويه دعاوي
Artinya:
“Wahai tuhanku, orang yang dalam semua kebaikannya masih banyak kesalahan,
maka bagaimana kesalahan-kesalahannya tidak menjadi dosa. Orang yang semua
ilmunya adalah pengakuan belaka, maka bagaimana pengakuannya tidak menjadi
kebohongan."
Kalam
di atas bisa menjadi bahan renungan bagi penulis, dan juga bagi siapapun yang
merasa benar. Benar adanya teori "Akhlak di atas ilmu ", mengacu pada
kasusnya iblis laknatullah alaih, betapa ia dulunya dikatakan sebagai makhluk
yang berilmu. Akan tetapi, karena kesombongannya, ia terusir dari surga Allah,
ilmunya tidak membuat dirinya menjadi taat akan perintah Allah, malah justru
sebaliknya.
Kisah
iblis ini menurut penulis sendiri, belum bisa dikaitkan sebagai pembenaran
akhlak harus didahulukan sebelum ilmu. Justru, mereka yang berilmu akan
menuntun perilaku untuk berakhlak yang tepat dan benar. Mestinya, andaikan
iblis memiliki ilmu, iapun akan tahu
bahwa sombong adalah dosa, sama halnya dengan manusia, jika memang berilmu,
riya' itu buruk, ujub itu dosa, meremehkan tetangga itu dosa, dan lainnya.
Banyak
orang berbuat baik sesaat ialah kala musim pesta rakyat, yaitu murah senyumnya
para caleg, sedekahnya para cakades, dan tebar pesonanya cabub atau cagub.
Betapa perilaku itu semua akan benar-benar menjadi nilai ibadah bilamana murni
keluar dari lubuk hati mereka, bukan sekedar pemanis dan janji kosong belaka.
Catatan
akhir, mengutip apa yang di sampaikan Ibnu Mas'ud,
"
تَعَلَّمُوا تَعَلَّمُوا، فَإِذَا عَلِمْتُمْ فَاعْمَلُوا ".
Artinya:
“Belajarlah, belajarlah, tatkala sudah tahu, maka amalkan.”
Implementasi
sebuah ilmu ialah menjadi perilaku dalam kesehariannya, menuntun ia ke jalan
yang sesuai relnya, tunduk patuh atas agamanya, dan apapun yang dikerjakannya,
semua bertumpu demi ridlo Tuhan Semesta Alam. Amiin.
*Penulis:
Alumnus PP. Lirboyo - Kediri tahun 2012.
Aktif
sebagai pengajar Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren Darul Fikri, Pondok
Pesantren Nurul Dhalam Kecamatan Wringin Bondowoso, dan sebagai pengusaha di
bidang kerajinan “Tirai Bambu”.
#Artikel #Sopan #benar
0 Comments: