SANTRI TERPESONA PADA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
OLEH : AYOPRI AL JUFRI
Berbicara Agama di bumi
Jawa tidak lepas dari tiga golongan yaitu Santri, Abangan dan Priyai itu yang
disebut Trikotomi (tiga varian) menurut hasil penelitian Dr. Clifford Geertz
dalam bukunya yang berjudul "Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa
(The Religion of Java)".
Menurut Clifford Geertz istilah
“abangan mewakili komunitas petani dan sinkretisme Jawa. Istilah santri
mewakili kelompok-kelompok Islam yang merupakan produk dari sistem pendidikan
Islam. Dan istilah priyayi digunakan untuk merujuk pada birokrat dan aristokrasi
Jawa.”
Banyak yang mengkritik
kategorisasi Geertz karena tidak berlaku lagi dalam konteks Indonesia saat ini.
Namun, ketiga kelompok ini masih ditemukan dan memiliki relevansi sosial,
agama, dan politik dengan situasi kontemporer Indonesia. Politik yang
menggunakan ketiga kategori ini disebut politik aliran, atau politik aliran
Jawa.
Ini makin menarik ketika
istilah santri kini semakin gencar dibirakan. Guru Besar Filsafat Kebudayaan
Islam Universitas Paramadina, Prof. Dr. Abdul Hadi WM, menyatakan istilah
'santri' berasal dari kata Sanskerta 'sastri’. Sastri artinya dalam bahasa
Sanskerta ialah orang yang mempelajari suatu ajaran (sastra). Jadi kata
'santri' ialah orang yang mempelajari suatu ajaran, dalam hal ini ajaran agama.
Menurut Prof. Dr. Abdul
Hadi WM., “Kata ini memang tidak kurang mirip artinya dengan kata 'talib' yang
artinya orang menuntut suatu ilmu. Jadi kata 'santri' mirip artinya dengan kata
'taliban'. Pekerjaan taliban ialah menuntut (talab) ilmu. Sekarang selain
belajar ilmu agama, santri-santri belajar berbagai hal lainnya".
Tapi sebagai ilmu,
bagaimanapun kiranya perlu untuk mengetahui jalan pikiran Geertz yang dahulu
menyelesaikan studinya di Universitas Harvard pada tahun 1956 itu. Apalagi
teori dia, dalam dunia ilmu sosial Indonesia masih menyisakan jejaknya yang
begitu tebal hingga sekarang misalnya dengan lestarinya istilah santri,
priyayi, dan abangan ketika hendak membahas suasana keagamaan orang Jawa kala
itu.
Menurut Geertz dalam
penelitiannya di dekade 1960-an di Mojokuto (Pare), Jawa Timur, dia mengatakan
ada dua perbedaan umum yang mencolok ketika membahas istilah itu, yakni
membahas soal perbedaan santri dan abangan.
(Secara sederhana Geertz
mengatakan santri adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran
Islam, abangan yang lebih longgar dan tak terlalu taat pada ajaran
Islam. Priyayi adalah golongan bangsawan/ningrat yang tak terlalu taat pada
ajaran Islam, terpesona pada adat dan kebiasaan yang datang dari leluhur.
Dalam tulisan ini saya
fokuskan pada kajian tentang santri saja, supaya lebih spesifik sesuai judul,
dimana peran santri sangat besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI
hingga sekarang.
Kalangan santri merupakan
varian masyarakat di Jawa yang memberikan perhatian terhadap doktrin (ajaran
agama Islam). Dan itu dicirikan bila disebut sebagai seorang abangan
maka orang tersebut harus tahu kapan harus menyelenggarakan selametan
(ritual adat dan kebiasaan budaya). Golongan ini memiliki toleransi kepercayaan
agama: Katanya jalan (Tuhan) itu memang banyak).
Santri melihat Islam
sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris, komunitas yang semakin
lama semakin lebar dari lokal hingga internasional. Santri juga tidak pernah
memandang agama sebagai serangkaian kepercayaan semata-mata, sejenis filsafat
yang abstrak.
Sedangkan dari sisi organisasi,
kaum santri berpusat di empat lembaga sosial yang utama. Pertama, partai
politik Islam berikut organisasi sosial dan amalnya. Kedua, sekolah agama.
Ketiga, lembaga birokrasi pemerintah. Keempat struktur lembaga keagamaan.
Adapun peran kaum santri
dalam mengisi memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan sangat besar,
seperti yang diakui oleh Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof.
Yudian Wahyudi mengemukakan bahwa kaum santri merupakan kalangan yang punya
kesetiaan pada dua aspek, yakni keagamaan dan kenegaraan.
Sejak penjajah merongrong
kedaulatan negeri, mereka menjadi pendukung pemerintah yang setia membantu
proses kemerdekaan bangsa Indonesia.
Jika pada zaman
penjajahan, para santri melahirkan fatwa jihad melawan penjajah, kini, santri
berperan penting dalam mengawal mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pengorbanan santri terhadap negeri yang tercatat dalam
sejarah ini patut dihargai, sehingga pemerintah pun mengenangnya setiap tanggal
22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN).
Menurut Prof. Yudian,
perjuangan kaum santri masih akan terus berlanjut ke depan. “Santri berperan
penting dalam menghadapi paham-paham yang mengganggu eksistensi dan ideologi
negara. Jasa kaum santri sudah diakui secara nasional,”
Selain harus menguasai
agama, santri juga diharapkan tampil memajukan Indonesia dengan meningkatkan
perannya di berbagai sektor, termasuk pemerintahan.
Hal ini sebagaimana yang
pernah ditunjukkan oleh Presiden ke-4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur)
yang pernah menjadi santri di beberapa pondok pesantren. Kita sebagai kaum
santri harus memaknai kembali perjuangan santri, agar ke depan bisa melanjutkan
perjuangannya untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Hari Santri Nasional yang
diperingati pada 22 Oktober menjadi momen untuk merefleksikan kembali resolusi
jihad yang dicetuskan Pahlawan Nasional KH. Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama
lainnya pada 22 Oktober 1945.
Pendiri organisasi
Nahdlatul Ulama itu mengeluarkan fatwa jihad menyusul kedatangan Pasukan Sekutu
yang mencoba menjajah Indonesia kembali. Melalui fatwa resolusi jihad, KH.
Hasyim Asy’ari mendorong semua santri di Jawa untuk turun berjihad
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jargon "Cinta Tanah
Air sebagian dari iman" (Hubbul Wathon Minal Iman), adalah sebuah
keseriusan cinta Santri kepada NKRI mulai melawan penjajah hingga mengisi
kemerdekaan, dengan tujuan yaitu menciptakan perdamaian, keamanan dan
ketentraman dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Nilai-nilai sosial itulah oleh
kaum santri dinamakan Ibadah Sosial.
Jadi untuk mempertegas
peran santri, bahwa kalangan ini bukan saja fokus pada keagamaan dan pendidikan
saja. Peran sosial dan kebangsaan sangat melekat dalam hati semua santri, maka
tidak heran jika ada Ormas atau pihak lain yang hendak mengubah dasar negara
atau bertindak radikal di negara ini.
Kaum santri terdepan
menjaga dan pembela negara Indonesia, seperti bubarnya Hizbut Tahrir Indonesia
dan Front Pembela Islam (FPI), Negara Islam Indonesia (NII), Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) juga Partai Komunis Indonesia (PKI).
Begitu cintanya kaum
santri kepada negara yang memberikan kemakmuran kepada segenap rakyatnya, nyawa
pun dikorbankan untuk membelanya. Jika elemen pemerintah masih memerlukan
anggaran dan perangkat hukum juga Standard Operating Procedure (SOP) dan
senjata, maka kaum santri dengan bekal cinta Tanah Air dan berdasar komando
Ulama' bersenjatakan Bambu Runcing bisa mengusir penjajah dengan
terbirit-birit.
Jika peran kaum santri
dipaparkan secara detail dalam sebuah buku, mungkin memerlukan ribuan lembar
dan memerlukan ratusan penulis. Namun cukup diwakili tulisan pendek ini sebagai
pengingat jasa, dan sebagai pemberitahu bahwa "Santri Terpesona kepada
NKRI".
*Penulis Alumni Pesantren
Nurul Burhan Badean Bondowoso, Nurul Islam 2 Putra Mangli Jember, STAIN Jember
(UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia
(LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.
0 Comments: