OLEH : MOH. GHAFUR HASBULLAH*
Sebagian dari budaya masyarakat yang sudah mengakar
kuat di dalamnya ialah kumpul-kumpul disertai arisan. Arisan adalah pengumpulan
uang dari anggotanya dengan mencantumkan nama atau nomor undian, nantinya bila
nama atau nomornya keluar, maka ia berhak atas uang yang dikumpulkan.
Dalam kaca mata fiqh, kumpulan dalam bentuk arisan
semacam ini hukumnya di perbolehkan, sebagaiman dipaparkan dalam hasyiyah
al-Qulyubi jilid dua tentang hukum perkumpulan arisan.
Bagi anggotanya, arisan menjadi tempat untuk menyimpan
uang yang mudah tanpa prosedur administrasi sebagaimana menyimpan uang di
koperasi, bank ataupun instansi-instansi yang menangani simpan-pinjam.
Sementara dalam skala luas, arisan adalah bentuk upaya
tolong-menolong, dalam hal ini bisa dikatakan meminjamkan uang sementara kepada
mereka yang nomor undiannya keluar, nanti akan mengganti siapapun yang nomor
atau nama gilirannya keluar. Al-Quran sendiri menganjurkan untuk saling
tolong-menolong untuk hal-hal kebaikan.
... وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا
تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ...
Artinya: “… Dan saling tolong menolonglah dalam
kebaikan dan ketakwaan, janganlah saling menolong dalam hal keburukan dan
permusuhan….” (QS, al-Maidah : 02)
HUKUM MENJUAL UANG ARISAN
Bagi anggota arisan yang nama atau nomor undiannya
keluar, maka ia berhak akan uang yang terkumpul saat itu. Karena sudah menjadi
hak miliknya, maka uang tersebut bebas ia gunakan sesuai kebutuhannya. Namun,
hukumnya akan berbeda, bilamana uang arisan tersebut ia jadikan sebagai komoditi
untuk meraup keuntungan dengan menjual uang tersebut kepada anggota lainnya,
taruhlah seperti uang nominal arisan sebesar Rp. 1.000.000,00 dijual dengan
harga 1.200.000,00.
Hukum setiap transaksi pada dasarnya adalah boleh,
selama tidak ada dalil atau referensi yang menunjukkan keharaman transaksi
tersebut. Bagaimana dengan menjual uang ? Diterangkan dalam kitab Tausyeh
syarah Fathul Qorib bab Riba, di sana dijelaskan, tidak diperbolehkan menjual
emas dibeli dengan emas, perak dibeli dengan perak kecuali dengan syarat, nominalnya
harus sama dan langsung serah terima. Di ceritakan dari Ubadah bin Samith,
Rasulullah bersabda ;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Artinya: Rasulullah Saw. Bersabda: "(Juallah)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair,
kurma dengan kurma, garam dengan garam (dengan syarat) harus sama dan sejenis
serta secara tunai, dan apabila jenisnya berbeda, maka juallah sekehendakmu."
(HR, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dari penjelasan ini, hukum menjual uang arisan tidak dibenarkan,
hal ini hukumnya adalah riba. Hukum riba sendiri adalah haram, Allah berfirman:
... وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
...
Artinya: “… Allah menghalalkan jual beli, dan
mengharamkan riba…” (QS. al-Baqarah: 275)
Selain adanya unsur riba, uang sendiri menurut sebagian
pendapat merupakan alat pembayaran, bukan barang komoditi yang bisa diperjual
belikan. Jika dijadikan komoditi, maka hukumnya haram, pasalnya ada salah satu
pihak yang dirugikan, yaitu pembeli.
SOLUSI BAGI HASIL YANG DIPERBOLEHKAN
Sebagaimana paparan di atas, hukum jual beli uang
adalah ilegal secara syari'at. Untuk itu, bagi mereka yang terbiasa mengambil
keuntungan dengan jual beli uang arisannya, haruslah menghindarinya, dan bisa
dilanjutkan dengan dua solusi. Pertama memberikan nomor undiannya, dan kedua
meminjamkan atau menghutangkan uang hasil arisan tersebut.
Dua opsi tersebut adalah upaya untuk menghindarkan diri
dari hukum haramnya jual beli uang, dan terkesan tidak adanya keuntungan yang
didapatkan. Namun, upaya memberikan kemaslahatan dan keluar dari zona haram
bisa tercapai, yaitu dengan pemberian garansi "ujroh mistli" atau
upah sepadan bagi peminjam untuk orang yang memberikan pinjaman.
Bahkan Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa kita
diperbolehkan atau bahkan disarankan untuk memberikan kelebihan dalam pinjaman
atau hutang. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Raafi’ bahwasanya
Rasulullah SAW pernah meminjam dari seseorang unta yang masih kecil. Lalu ada
unta zakat yang diajukan sebagai ganti.
Rasulullah SAW lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk
mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta
sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya lebih baik).”
Rasulullah SAW kemudian menjawab, “Berikan saja unta terbaik tersebut
padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik dalam melunasi hutangnya.”
(HR. Bukhari No. 2392 dan Muslim No. 1600).
Artinya, kerelaan bagi anggota yang memberikan upah
atas penggantian hak nomor undian, atau juga pengembalian hutang dengan nominal
lebih dari uang yang dipinjam adalah solusi legal syar'i dalam transaksi
keuangan, tidak ada unsur riba. Dalam hal ini, asas kebersamaan dan
kesejahteraan sesuai agama tetap terjaga, dan kedua belah pihak tidak ada yang
dirugikan.
Catatan akhir, bila transaksi peminjaman uang berbasis
arisan bisa berjalan, maka, budaya yang sudah mengakar kuat bagi masyarakat khususnya
golongan awam ini tidak terkontaminasi dengan praktek-praktek yang tidak sah
dalam agama. Akhirnya, maslahah dan manfaat tetap terjaga dan membudaya
selamanya.
0 Comments: