HEBRING, ISTRI PEMILIK KOPI KAPAL API DIDUGA KUAT LAKUKAN REKAYASA PAJAK
JAKARTA – Kasus perselisihan yang melibatkan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris PT. Kahayan Karyacon (KK) memanas lagi. Hal itu disebabkan adanya laporan baru dari Mimihetty Layani selaku Komisaris Utama ke Bareskrim Polri dengan terlapor Leo Handoko dan kawan-kawan. Mimihetty, yang merupakan istri dari pemilik perusahaan Kopi Kapal Api ini, mengaku melaporkan para Direksi KK dengan tuduhan penggelapan karena mereka tidak pernah memberikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen.
Menanggapi
hal tersebut, pengacara Leo Handoko, Advokat Franziska Martha Ratu Runturambi,
SH dari LQ Indonesia Lawfirm membantah tuduhan Mimihetty. "Tuduhan
Mimihetty jelas tidak beralasan, justru Mimihetty Layani dan Christeven
Mergonoto yang meminta jangan ada laporan keuangan karena sebagai pemilik Kapal
Api, mereka tidak mau keuangan mereka terlacak, diduga mereka mau menghindari
pajak [1],” terang Franziska, Kamis, 30 September 2021.
Perlu
diketahui, PT. Kahayan Karyacon sudah berdiri sejak 2012, hampir genap 10 tahun
berjalan. Oleh sebab itu, keberadaan dan peran dewan komisaris perusahaan itu
dipertanyakan. “Kenapa baru sekarang keberatan tidak ada laporan keuangan?
Kemana saja selama hampir 10 tahun?” tanya Franziska.
Salah
satu tugas Komisaris sesuai UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
kata Franziska, adalah mengawasi Dewan Direksi. Lalu, jika baru melaporkan
dugaan penggelapan di tahun 2021, apakah selama 9 tahun tidak menjalankan tugas
sebagai komisaris ?
“Apakah
sebodoh itu, komisaris sampai selama 9 tahun tidak mengawasi perusahaan yang
mereka dirikan, atau pura-pura bodoh karena ada maksud terselubung?" tegas
Advokat Franziska.
Sejalan
dengan Franziska, Kabid Humas LQ Indonesia Lawfirm, Sugi, SH, mengatakan bahwa secara
tersirat Mimihetty Layani menyimpan niat terselubung atas dana yang dititipkan
tanpa selembarpun tanda bukti penerimaan uang ke Leo Handoko untuk membangun
perusahaan Kahayan Karyacon. “Kesimpulan kami, komisaris ingin mendapatkan
untung dengan memutarkan uangnya (secara sembunyi-sembunyi), namun ketika rugi
tidak bisa terima," ujar Sugi.
Terkait
dengan proses hukum yang sedang berproses di Bareskrim Mabes Polri untuk
laporan kedua kali ini, Advokat Franziska menanggapi tuduhan kuasa hukum
Mimihetty Layani, Nico, yang mengatakan bahwa Leo Handoko dkk mangkir dari
panggilan polisi. “Jika yang bersangkutan tidak hadir lagi, harus segera
diberikan panggilan kedua. Jika tidak hadir juga harus dijemput paksa,"
kata Nico, Rabu (29/09/2021) sebagaimana diberitakan oleh segelintir media
partisan Kopi Kapal Api.
Franziska
mempertanyakan kinerja aparat Polri, khususnya di unit Bareskrim Mabes Polri
yang terkesan bisa diatur oleh pihak pelapor. “Kenapa Dittipideksus Bareskrim
Polri yang dipimpin oleh Brigjen Helmi Santika bisa diperintah-perintah oleh
pihak pelapor? KUHAP sudah dengan jelas menerangkan bahwa tersangka pun
memiliki hak, antara lain meminta penundaan jadwal pemeriksaan, dengan alasan
yang sah seperti sakit maupun dalam rangka mengumpulkan berkas-berkas untuk
pemeriksaan,” keluh Franziska mempertanyakan sikap Polri.
Juga,
lanjutnya, ada prinsip yang namanya ‘Presumption of Innocence’ atau asas
praduga tidak bersalah. “Apakah kuasa hukum Kopi Kapal Api tidak sekolah hukum
sampai tidak tahu hal tersebut?" ujar Franziska dalam rilis yang
dikirimkan ke media ini, Kamis (30/09/2021).
Kabid
Humas LQ Indonesia Lawfirm, Sugi, mengaku bahwa dirinya merasa aneh terhadap
sikap dan perilaku Nico bersama Mimihetty Layani, dkk. Dia juga mempertanyakan
netralitas Polri dalam menangani kasus ini.
“Memangnya
siapa sih Leo Handoko, Chang Sie Fam, dan Ery Biyaya? Orang-orang ini tidak ada
yang kenal mereka, tapi Kopi Kapal Api sampai memasukan ke media mengenai
panggilan pertama mereka, ada maksud apa? Polri seharusnya netral dan tegak
lurus dalam penegakkan hukum, namun dalam kasus sengketa Direksi dan Komisaris
Kahayan, terlihat jelas bagaimana kuasa hukum pemilik Kapal Api, Nico,
menggurui penyidik," ungkap Sugi.
Dugaan
adanya perilaku mempermainkan hukum dalam kasus kisruh Direksi dan Komisaris
PT. Kahayan Karyacon dipertanyakan banyak pihak. Tidak kurang dari Ketua Komite
I DPD-RI, H. Fachrul Razi, MIP, beberapa waktu lalu secara tegas tanpa tedeng
aling-aling menuding bahwa pihak pelapor Mimihetty diduga keras bermain uang.
“Mereka main duit!” ujar Fachrul, Senator progresif dari Aceh, sebagaimana
dikutip dari pemberitaan media ini sebelumnya [2]. Siapa yang main duit? Publik
sudah amat paham, siapa lagi kalau bukan pelapor dan para oknum yang dilapori?
Senada
dengan Fachrul Razi, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI),
Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, juga mensinyalir fenomena permainan hukum di
institusi Polri. Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini bahkan telah
mengirim surat terbuka kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, beberapa
waktu lalu yang intinya mengeluhkan adanya diskriminasi hukum yang dilakukan
oleh aparat di Bareskrim Polri.
“Leo
Handoko dan kawan-kawan itu adalah anggota PPWI, yang oleh karenanya saya bantu
dampingi ke SPKT Bareskrim untuk melaporkan Mimihetty Layani terkait dengan
penggunaan dokumen yang diduga palsu dan dugaan penggelapan. Namun, aneh bin
ajaib, petugas SPKT Bareskrim menolak dengan alasan tempat kejadian perkara di
Serang, sehingga harus melaporkan di Polres Serang. Saat saya mempertanyakan
mengapa laporan polisi dari Mimihetty Layani ke SPKT Bareskrim terhadap Leo
Handoko yang kejadian perkaranya sama-sama di Serang diterima oleh SPKT
Bareskrim Mabes Polri, petugas kebingungan dan mengatakan hal itu merupakan
kebijakan dan sesuai arahan pimpinan,” beber Wilson Lalengke, Kamis, 30
September 2021.
Saat
ini, sambungnya, kalau tidak punya uang atau backing di institusi Kepolisian,
jangan bermimpi untuk meminta keadilan hukum di negara ini. “Ibu Bhayangkari
istri polisi pangkat Bintara, Nina Muhammad, dan petani miskin, Ari Tahiru, di
Manado sana bisa masuk kurungan karena laporan orang berduit. Ibu Bhayangkari
loh itu, anggota keluarga besar Polri. Ini aneh bin absurd!” tegas lulusan
program pasca sarjana bidang Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda,
dan Linkoping University, Swedia, ini mengakhiri komentarnya
PEWARTA:
OKIK
0 Comments: