
Oleh : Muhammad Syarif Hidayatullah (Mahasiswa PAI Semester II STIT Togo Ambarsari Bondowoso)
Sebagai
sebuah subjek, setiap kita adalah pusat kehidupan. Keberadaan kita yang pertama
dan utama mesti harus selalu disadari dan dipikirkan selalu, bahkan setiap
waktu. Pasalnya, eksistensi kita secara internal (baca; jiwa) dalam relasinya
dengan yang eksternal (baca; dunia di luar diri) selalu terjadi setiap saat. Tidak
satu detik pun seharusnya subjektifitas kita tersandera oleh hal di luar kita
itu. Bila begitu, originalitas hidup kita akan dipertaruhkan.
Hidup
yang original adalah hidup yang bebas dan hakiki tanpa intervensi orang
lain. Hidup yang bebas adalah hidup tanpa predikat, sebuah embel-embel yang
dilekatkan oleh orang lain kepada kita. Dan hidup yang hakiki adalah sebuah laku-hidup
yang mengarah ultimate reality atau realitas tertinggi dalam hierarki
wujud, al-waajib al-wujud. Di sisi lain, hidup non-original adalah hidup
berbasis pada hidup orang lain. Hidup yang ka-we, sebuah laku-hidup yang
berbasis pada kemunafikan diri dan berorientasi pada kesementaraan.
Kemunafikan
diri dalam kehidupan manusia hari-hari ini adalah fenomena massal. Manusia
bukan lagi menjadi pusat dalam hidupnya, keberadaannya tergeser oleh
materialisme yang mereka konstruk sendiri dalam laku sosial dan budaya mereka.
Kesadaran dan pikiran bukan lagi menjadi barang istimewa, keduanya seringkali
tergadaikan sebab dan untuk materi. Hidup adalah melulu tentang dunia dan
materi. Di titik ini lah sebenarnya kemunafikan diri secara gamblang terlihat
dan terasa dimana hidup mengabaikan keberadaan diri-sendiri.
Bahkan
dalam ubudiyah baik vertikal-transendental atau terutama
horizontal-sosial, ironi seperti ini sering terjadi dimana seharusnya li-Allah
menjadi li-ghairi-Allah. Perihal ini menggeser posisi Allah SWT
sebagai orientasi utama dalam ibadah dengan kepentingan sesaat seperti uang,
jabatan dan pujian atau penilaian orang lain, yang kesemuanya itu adalah ilusi
pada dasarnya. Sebagaimana notifikasi al-Qur’an dengan istilah Mataa’ul-Ghurur,
dunia-kebendaan-kesementaraan adalah identik, sebagai kesenangan yang menipu.
Umroh
misalnya, ia pertama dan utama adalah perihal ibadah, substansi laku hidup
manusia dalam proses pendekatan terhadap-Nya, Dzat yang menjadi titik mula dan
tujuan akhir. Biasanya ditekankan dengan istilah li-Allah dalam setiap
niat beribadah. Namun kondisi sosial selalu menggiring komitmen keilahi-an
ini berbelok menjadi berorientasi pujian dan penghargaan atau penilaian orang
lain. Alhasil, tak jarang orang yang berangkat umroh
sibuk dengan urusan artifisial semisal oleh-oleh, foto selfie, dan semuanya
yang berbasis penampilan serta pada saat yang sama lupa bahwa bertambahnya
ketaatan dan ketaqwaan adalah orientasi utama dalam proses ini. Di sini kemunafikan diri selalu menjadi hantu yang
mengarahkan subjek menjauhi dirinya sekaligus tidak sadar menjauhi Tuhannya.
Di
sisi lain dalam sinyalir al-Hadits Rasulullah SAW tentang kemunafikan adalah
dusta dalam berkata, ingkar dalam berjanji dan khiyanah dalam amanah. Dalam
pembacaan lebih luas, kemunafikan diri adalah penyangkalan manusia terhadap
kesadaran terdalam dalam diri (al-Qalb) dimana kebenaran (al-Haq)
dan kebaikan (al-Ma’ruf) dikonfirmasi sekaligus mengkonfirmasi kebenaran
tindak-laku. Dalam berdusta, mengingkari janji serta khiyanah terhadap
amanah, kesemuanya tentu bukan karena niscaya ketidaktahuaan, namun
kesengajaan mengingkari al-Qalb, ruang terdalam dalam diri dimana
Tuhan bersemayam dan mengkonfirmasi kebenaran dan kebaikan.
Ruang
ini lah yang hari-hari ini selalu terabaikan
dan terlupakan di era kapitalisme dan materialisme dalam segala
aspek kehidupan. Kesadaran dan pikiran akan hal itu telah tersandera oleh
kepentingan dan kebutuhan sesaat terutama uang. Eksistensi manusia hari ini diukur
berdasar kuantitas kepemilikan terhadap
uang. Siapa yang memiliki uang akan lebih eksis dan lebih diakui keberadaannya
daripada yang tak memilikinya. Di sinilah kemunafikan ber-uforia,
ketidakwarasan menjadi hal wajar hari-hari ini karena dikonfirmasi banyak
orang. Dengan demikian, Materialisme telah menjadi paradigma umum serta
mengusir subjek keluar dari posisinya sebagai poros kehidupan.
Selanjutnya
bagaimana ? sudah saatnya mengakhiri pengasingan manusia sebagai subjek dalam
hidupnya sendiri dengan membangun kesadaran akan dirinya sebagai poros utama
kehidupan. Lawan kemunafikan diri dengan mengembalikan al-Qalb sebagai
penuntun dalam tindak dan laku hidup. Sehingga Tuhan dengan sendirinya hadir
dalam diri sebagai basis dan orientasi tindak dan laku hidup manusia. Tentunya
ini butuh konsistensi, koherensi dan korespondensi.
Bukannya
setiap laku kehidupan adalah sebuah proses pencarian dan pendekatan terhadap ultimate
reality atau realitas tertinggi dalam hierarki wujud. Sederhananya, Allah
adalah titik berangkat dan menuju dalam hidup manusia. Innalilllah wa inna
ilaihi raaji’una, sesungguhnya kita adalah milik allah dan kepada-Nya kita
kembali.
Perlulah
kita selalu mengupayakan hidup dalam ibadah secara ikhlas, sebentuk totalitas li-Allah.
Setiap individu perlu mengupayakan
itu sebagai sebuah proses. Kemunafikan adalah problem setiap orang dalam
mencapai totalitas itu sebab ego atau hasrat kebendaan dimiliki oleh setiap
orang. Bahkan, musuh terbesar berdasar al-Hadits Rasulullah SAW adalah
diri-sendiri, lebih spesifik adalah kemunafikan diri.
Dengan
demikian, setiap manusia adalah subjek hidupnya. Kesadaran akan menjaga originalitasnya
sebagai subjek bila selalu dijaga dan disadari. Hal ini ada dalam ruang
terdalam dalam diri dimana Tuhan bersemayam dalam diri mengarahkan pada
kebenaran dan kebaikan. Dalam sebuah al-Hadits al-Qudsi disebutkan bahwa
siapa manusia yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya. Mengembalikan
Ruang terdalam ini menjadi basis utama hidup manusia tentunya akan mengahiri
kemunafikan diri dan ketidakwarasan diri yang menjadi problem setiap manusia.
Sekian, wallahu a’lam.

0 Comments: