
Oleh : Iffatul Kamilah (Mahasiswa Semester VI STIT Togo Ambarsari Bondowoso)
Hidup adalah tegangan antara baik dan buruk,
setiap individu bergerak bolak-balik diantara keduanya. Ini adalah paradigma
dikotomis dan reduktif dalam menyimpulkan kompleksitas hidup, yang dianut orang
kebanyakan. Pasalnya, hidup adalah
sebuah proses, sedang baik-buruk adalah sebuah value/nilai. Dengan
ini tentunya, ada selip yang tidak bisa dipertemukan sepenuhnya antara
hidup dengan baik-buruk.
Sebagai sebuah pelampauan terhadap paradigma dikotomis
itu adalah hidup hanya satu dasar yakni kebaikan sebagai proses terus-menerus
setiap saat, tanpa yang lain. Alasannya, hasrat sebagai ruang antara al-Qalbu
dengan an-Nafsu terkadang ambigu untuk dimengerti dan dipahami seutuhnya.
Bahkan ruang ini membuka kemungkinan bahwa keburukan adalah manusiawi. Di titik
ini perlu sebuah penegasan bahwa manusia secara substansial adalah kebenaran
dan kebaikan. Sedangkan keburukan adalah musuh kemanusiaan.
Selanjutnya, kebenaran dan kebaikan adalah
unsur primordial kemanusiaan. Artinya, setiap manusia lahir dengan kebenaran
dan kebaikan sebagai unsur bawaan. Kenyataan ini dikonfirmasi oleh ayat
al-Qur’an yang mendeskripsikan sebuah dialog antara Allah SWT dengan ruh setiap
anak yang akan lahir. Dalam konteks itu, Allah SWT bertanya “a_lastu
birabbikum ?” (bukankah aku adalah Tuhanmu ?), kemudian ruh itu menjawab
“ bala, syahidna” (iya, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhanku ).
Dengan ini berarti bahwa kebenaran (al-Haq) yang darinya kebaikan
bersumber adalah unsur paling asasi-primordial dari keberadaan manusia.
Hari-hari ini, keburukan seakan melingkupi
hampir segala aspek kehidupan, mulai dari ekonomi-politik hingga sosial-budaya.
Dalam ekonomi, sistem kapitalisme menggiring pelebaran jurang pemisah antar
orang kaya dan orang miskin. Dalam politik, perebutan kuasa terhadap sumber
daya berwujud posisi di ruang publik dengan menghalalkan segala cara bahkan
sering menggadaikan prinsip kebenaran. Dalam sosial-budaya, intervensi
pragmatisme dalam kesadaran massa menjadikan kepentingan kebendaan-sementara
bisa menggantikan kepentingan ketuhanan abadi. Kesemuanya
ini adalah realitas yang sudah jamak diketahui orang, dinyatakan selalu secara
publik tetapi belum kunjung menemukan praktek penyelesaiaan.
Benar kata ronggowarsito, hidup di zaman
edan, bila tidak ikut edan maka tidak akan kebagian. Ini mengkonfirmasi
ketidakwarasan sebagai sebuah kesadaran kolektif yang menggeser kebenaran dan
kebaikan ke pojok ruang kehidupan. Ironi ini selalu dikokohkan bahkan oleh kaum
terdidik sekalipun, bahkan mereka menjadi pelopor dalam praktek ini.
Sehingga tidak salah bila orang awam
mengamini sekaligus meniru mereka. Sebuah kesalahan karena ketidaktahuan jelas
lebih bisa ditolerir dari pada kesalahan karena kesengajaan. Sudah seharusnya
dalam hal ini, kita mulai membongkar kesadaran yang salah pada diri sendiri sekaligus melakukan penyadaran terhadap
kesalahan orang lain.
Namun, yang perlu disadari adalah bahwa
perbaikan serta penyadaran itu adalah tugas kolektif. Secara kuantitatif,
jumlah orang baik dan benar dalam berpikir serta berprilaku tak lebih sedikit
dari orang buruk dan salah dalam berpikir serta berprilaku. Permasalahannya
adalah hanya kesolidan. Keburukan lebih solid dan terorganisir dari pada
kebaikan dalam segala aspeknya mulai dari subjek, wadah serta sumber-dayanya. Di sini, “al-Haq bilaa Nidzaamin,
Yaghlibuhu al-Bathilu bi-Nidzaamin ; sebuah kebenaran yang tidak
terorganisir akan dikalahkan oleh keburukan yang terorganisir”, menemukan
kebenarannya secara realistis.
Sederhananya,
kita tidak kurang orang baik, hanya saja diantara mereka kurang ada kesepahaman
dan kerjasama sehingga berujung pada persaingan bahkan perseteruan. Sedang di pihak lain, orang buruk bekerjasama
dengan yang lainnya mengorganisir keburukan mereka, berbagi keuntungan dan
saling mengamankan kepentingan. Perbedaan
ini berefek pada narasi mainstream dimana kebaikan selalu kalah dan
tersingkir baik dalam arena ekonomi, politik, sosial serta budaya.
Di sisi lain, kesadaran beribadah tidak hanya
terbatas pada hubungan individu dengan Allah SWT tetapi pula hubungan sosial.
Dalam hal kebaikan, ibadah lebih banyak berkaitan dengan orang lain, yakni
sosial. Ibadah tidak hanya tentang menyumbang
doa untuk tetangga yang tidak makan, lebih dari itu juga adalah memberi shadaqah
yang mampu mengentas mereka dari kemiskinan. Di sini, ibadah dalam sosial
yang pertama dan utama adalah menurunkan ego dalam diri dan pada saat yang sama
membangun simpati dan empati terhadap keadaan orang lain. Kesadaran ini mesti
dibangun secara kolektif dan disadari sebagai tugas bersama secara
kolektif-sosial.
Tentang keburukan yang mudah menular sedang
kebaikan sulit menular, ini hanya pernyataan subjektif. Kampanye tentang
kebaikan yang kurang sistematis lah yang menjadi motif utama hal ini. Padahal,
setiap manusia berpotensi utama berprilaku baik. Hanya potensi ini tak
dikembangan secara maksimal serta tidak menemukan kondisi sosial yang
mendukung. Disini kolektifitas dalam kebaikan adalah jalan satu-satunya di
tengah keburukan yang tersistem dan terorganisir.
Dengan demikian, setiap individu dengan
kesadaran primordialnya berupa kebenaran dan kebaikan ini mesti diorganisir
secara kolektif dan sistematis. Kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya
yang mengitari kita yang sedang ‘tidak baik-baik saja’ adalah tugas
kolektif untuk dipikirkan dan diperbaiki. Buang model berpikir individual yang
mengedepankan ego-sentrisme sebagai hasil dari subjek dramatis bentukan
media sosial. Bangun komitmen jihad dan kerjasama dalam kebenaran dan
kebaikan karena keburukan sudah sepenuhnya terorganisir dan sistematis. Semua
orang baik se-dunia, bersatulah !
Sekian, wallahu a’lam

0 Comments: