
PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL DALAM PEMULASARAN JENAZAH COVID 19
Oleh: Hayi Abdus Sukur*
Kasus penolakan warga dalam pelaksanaan disiplin prokes pemakaman jenazah yang terkonfirmasi positif covid 19 kian marak akhir-akhir ini. Mulai insiden perebutan jenazah oleh keluarga, kerabat maupun warga setempat, hingga upaya intimidasi, bahkan melakukan tindakan fisik seperti pengrusakan sarana tim satgas pemulasaran jenazah covid 19.
Hasil
studi kasus di Kabupaten Bondowoso saja berdasar penulusuran pemberitaan media
online, setidaknya telah terjadi ragam aksi serupa di beberapa kecamatan,
meliputi: Tamanan, Wringin, Wonosari dan Pakem. Bahkan terkini insiden kembali
terjadi di Puskesmas Pujer Kabupaten Bondowoso se dilansir melalui laman
https://news.detik.com/ tanggal 25 Juli 2021.
Wajar,
jika Tim Pemulasaran Jenazah Covid 19 kemudian khawatir atas jaminan keamanan
dan keselamatan pribadinya. Keamanan saat berjibaku dalam pemulasaran dan
keselamatan disaat menjadi menjadi garda
terdepan dalam mengantarkan jenazah pada tempat pemakaman.
Hasil
wawancara pewarta detiks.com pada salah satu petugas lapang pemulasaran jenazah
covid 19 Bondowoso melansir bahwa dampak beberapa insiden perebutan jenazah
tersebut menimbulkan gundah bahkan trauma akan aksi serupa dalam pelaksanaan
tugasnya di lapangan. Belum lagi rasio jumlah jenazah terpapar covid 19 dengan
tenaga pemulasaran yang belum memadai, serta jarak tempuh ke tempat pemakaman
jenazah kadang relatif jauh.
Pemerintah
daerah sejatinya secara sigap telah merespon peristiwa di atas dengan melakukan
konsolidasi langkah penanganan dan pengendalian pelaksanaan SOP pemulasaran
Jenazah Covid 19 dengan melakukan rapat koordinasi melibatkan aparat penegak
hukum, militer dan stakeholder di daerah.
Sungguh
menjadi pekerjaan rumah terbesar era pademi ini adalah edukasi dalam penerapan
disiplin protokol kesehatan. Meskipun tak semudah membalikkan telapak tangan,
merubah perilaku sosial dalam proses pemulasaran Jenazah covid 19 saja
membutuhkan kesabaran dan pendekatan komprehensif. Pendekatan hukum dan militer
tidak sepenuhnya efektif, bahkan dalam
jangka panjang justru semakin menambah krisis legitimasi publik,
utamanya pada tim Satgas Covid 19 di daerah itu sendiri.
Masyarakat
memiliki logika sendiri berdasar informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh
di luar informasi yang disampaikan pemerintah. Secara umum pemerintah daerah
nampaknya kewalahan menghadapi teori konspirasi, stigmasi, opini dan informasi
yang salah tentang proses pemulasaran jenazah Covid 19. Hal ini sebagai
konsekuensi bergesernya peran pemerintah sebagai informasi tunggal, seiring
dengan arus pemberitaan media sosial yang lebih massif di luar pemerintah, baik
melalui facebook, instagram, twitter, youtube maupun pesan berantai melalui WA
Group dll.
Beban
tugas pemerintah bukan hanya pengendalian pandemi dengan mendisiplinkan prokes
semata. Tak kalah penting adalah meluruskan informasi yang salah dengan
pendekatan komprehensif.
Sejalan
dengan pernyataan ketua PC Lakpesdam NU Bondowoso Ahmad Noval Kawakib dalam FGD
penyusunan master plan madrasah riset, yang menyatakan bahwa: pendekatan top
down dalam studi kasus pemulasaran jenazah covid 19 di Bondowoso dan terkesan
represif melahirkan konflik dan benturan
dalam implementasinya. "Harus ada "jembatan" komunikasi yang efektif antara pemerintah dan
masyarakat" tegas koordinator TKSK Bondowoso tersebut.
Dari
sisi internal upaya menyelesaikan kesimpangsiuran informasi di atas, pemerintah
sejatinya harus terus berbenah dalam melakukan konsolidasi informasi dan
mereview kebijakan utamanya yang bersinggungan dengan kultur sosial seperti
proses pemulasaran. Salah satunya dengan pendekatan kearifan budaya dengan
menggandeng organisasi kultural yang bersinggungan langsung dengan proses
perawatan jenazah.
Pondok
pesantren organisasi NU dan
Muhammadiyah, kiai, ustadz, guru ngaji, santri, alumni dan masyarakat pesantren
sejatinya bisa diperankan sebagai ujung tombak edukasi masyarakat. Mereka
terbukti yang paling banyak berhasil mewujudkan sinergi dengan masyarakat akar
rumput dalam implementasi kebijakan pemerintah tanpa harus berbusa-busa
menjelaskan protokol kesehatan melalui sosialisasi klasikal dan formalistik.
Ini adalah kekayaan budaya lokal yang harus dioptimalkan dalam melancarkan
strategi perang melawan corona dan informasi hoaks yang semakin brutal.
Pondok
pesantren terbukti berhasil menerapkan PPKM Darurat yang sebenarnya. Satgas
Covid 19 di pesantren menjaga keluar masuknya penghuni pesantren. Mobilisasi dan
interaksi sosial santri dibatasi dengan dunia luar dan sebaliknya.
Penjagaan
relatif ketat, tak sembarang orang bisa masuk, meski kedatangan pejabat
sekalipun. dengan model prokes sedemikian ketat pun masih banyak pengasuh,
ustadz dan santri yang berguguran sebagai syuhada’ dalam perang melawan wabah
yang berasal dari Wuhan China tersebut.
Pondok
pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo misalnya. Pondok pesantren yang diasuh
KH. Zuhri Zaini ini, dinobatkan sebagai pesantren terbaik dalam penanganan Covid
19 oleh PBNU, serta dipilih sebagai ponpes tangguh oleh tim satgas penanganan
Covid Kabupaten karena kesiapan SOP, SDM
dan prasarana pendukung pelaksanaan prokes yang sesuai standart.
Contoh
lain, masih segar dalam ingatan penulis bagaimana Majelis Keluarga Pondok
Pesantren Sidogiri mendukung pemerintah dalam penerapan disiplin disiplin
prokes saat sang pengasuh KH. Nawawi Abdul Jalin wafat. Majelis keluarga
melarang alumni, wali santri, simpatisan hadir ke rumah duka. Tahlil bersama
dilaksanakan melalui meeting virtual demi menghindari kerumunan dan mencegah
penularan covid 19.
Di
samping itu, publik bisa menyaksikan sendiri bagaimana praktek ketaatan alumni
santri pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo ketika ada
himbauan KHR. Azaim Ibrohimy untuk membaca Sholawat Burdah sebagai bagian
ritual mengusir pandemi. Jamak para alumni yang tersebar di pelosok negeri
langsung mengamalkan arahan sang murabbi.
Hal
serupa, di tengah keletihan sosial menghadapi badai pandemi dan kesimpangsiuran
informasi, pengurus Cabang NU Bondowoso melakukan gerak bathin, menguatkan imun
yang terkonsolidasi secara berkala hingga ke level ranting desa secara massif.
Hal ini menunjukkan betapa tokoh kultur, organisasi kultur keagamaan memiliki
penetrasi hingga ke akar rumput.
Alhasil,
perlu kiranya pemkab mereview arah kebijakan peningkatan disiplin prokes ke
depan dengan melibatkan tokoh-tokoh kultur seperti NU, Muhammadiyah, pengasuh
pondok pesantren bahkan para ustadz, guru ngaji maupun alumni ponpes dalam
mengedukasi warga hingga ke level desa dan dusun secara massif. Bukan hanya
sebatas acara ceremonial melalui event
sosialisasi konsep disiplin prokes pemulasaran jenazah covid 19 melalui
seminar, tausyiah dan foto bersama kemudian diberitakan melalui media.
Jauh
lebih substansi dari konkretisasi pelibatan mereka perlu dilegitimasi dengan
penyusunan naskah perjanjian kerja sama sehingga jelas siapa berperan apa. Hak
dan kewajiban kedua belah pihak semakin terang benderang. Sehingga Sistem evaluasi dan monitoringnya
semakin terukur dan akurat dalam menegoisasi proses protokol pemulasaran
jenazah covid 19 dengan kearifan budaya lokal.
*Penulis adalah Pengurus Cabang Lakpesdam NU Bondowoso.

0 Comments: